Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Ketua Umum ASPHRI, Dosen MSDM & Hubungan Industrial, Pengamat Ketenagakerjaan)
KARAWANG | INFOKEADILAN.COM | Masalah ketenagakerjaan di Indonesia selalu menjadi berita menarik dan tak penah terselesaikan secara tuntas. Tarik-menarik kepentingan antara kaum pengusaha dan kelompok serikat pekerja terkait dengan harmonisasi hak dan kewajiban dalam kerangka hubungan industrial, sudah menjadi isu klasik yang tak berujung. Masing-masing pihak memiliki cara pandang atau persepsi berbeda dalam mensinergikan dan mengimplementasikan sistem dan mekanisme hubungan industrial.
Pengusaha masih melihat para pekerja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari biaya produksi alias ‘production cost’ dalam proses bisnis. Selain itu, Pekerja juga diposisikan sebagai ‘objek’, bukan ‘subjek’ dalam manajemen bisnis perusahaan. Apalagi dianggap sebagai salah satu asset perusahaan penting yang menjadi ‘tulang punggung’ atau backbone dalam menjalankan proses bisnis meraih tujuan yang diharapkan.
Sementara, pihak Pekerja melihat bekerja masih sebatas mencari nafkah lahir alias memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, namun belum memikirkan peningkatan kompetensi, kinerja dan produktivitas yang berdampak langsung terhadap profitabilitas perusahaan. Bekerja belum dijadikan ajang memberikan kontribusi terbaik, berkreasi dan berinovasi untuk mendukung gerak langkah perusahaan dalam menghadapi kompetisi bisnis yang makin ketat.
Lemahnya posisi tawar pekerja (Bargaining Position) dalam proses dan mekanisme hubungan industrial, khususnya terkait dengan tuntutan hak dasar dan kesejahteraan, menempatkan kaum pekerja di posisi yang kurang menguntungkan. Jumlah usia angkatan kerja yang relatif melimpah, namun tidak dibarengi dengan kualitas, kapabilitas, pendidikan dan kompetensi yang memadai, menjadikan mereka harus menerima apa adanya, asalkan bisa bekerja.
Walhasil, prinsip kesetaraan antara pengusaha dengan pekerja dalam konsep hubungan industrial masih sebatas impian dan belum terwujud menjadi sebuah keseimbangan yang berdampak langsung terhadap peningkatan bisnis dan kesejahteraan kedua belah belah pihak.
Di era revolusi 4.0 dan society 5.0, dinamika hubungan industrial terus bergulir seiring dengan perkembangan dunia usaha & dunia industri yang makin ketat. Kemajuan teknologi digitalisasi berdampak langsung kepada optimalisasi Sumber Daya Manusia (SDM). Hal tersebut tentu saja berpengaruh langsung terhadap tingkat pengangguran. Teknologi otomasi, digitalisasi dan artificial intelligence (AI) yang makin massif, telah secara langsung menggantikan tenaga manusia.
Model bisnis padat karya yang banyak menggunakan pekerja, digantikan/tergantikan oleh teknologi canggih yang akurat, cepat, efektif dan maksimum. Ironisnya, disaat jumlah tenaga kerja meningkat, percepatan kemajuan teknologi canggih justru meminimalisir penggunaan tenaga manusia. Hal ini menjadi tantangan yang harus dicarikan solusinya oleh semua “stakeholder” dunia usaha dan dunia industri, khususnya dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Lalu, apa langkah-langkah efektif yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan hubungan industrial dan tantangan era digitalisasi yang cenderung dehumanisasi tersebut?
Kesetaraan Dalam Hubungan Industrial
Pasal 27 ayat 2 UUD 1954 sebagai hukum dasar alias konstitusi negara, secara jelas dan lugas menyatakan bahwa “Setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Artinya, Negara menjamin setiap anak bangsa yang memenuhi persyaratan untuk bisa bekerja dan diterima bekerja di perusahaan apapun yang beroperasi di negeri ini sebagaimana mestinya, layak dan berpedoman kepada aspek2 kemanusiaan yang beradab, adil dan setara.
Dimensi kesetaraan adalah salah satu prinsip utama dalam sistem dan mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal ini bisa kita lihat pada Pasal 6, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari Pengusaha”.
Dalam implementasi sistem dan mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP), kedudukan Pekerja/Buruh dengan Pengusaha adalah sama, dimana masing-masing pihak memiliki posisi tawar-menawar yang sama kuatnya untuk mencapai kesepakatan bersama. Artinya, masing-masing pihak dilarang melakukan intimidasi atau pemaksaan kehendak, agar diterima oleh pihak lainnya.
Peningkatan Kesejahteraan Pekerja
Program kesejahteraan karyawan adalah rangkaian kegiatan dan fasilitas yang disediakan oleh perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan karyawan, serta memperbaiki kualitas kehidupan mereka di luar pekerjaan.
Program kesejahteraan karyawan dapat mencakup berbagai hal selain memberikan upah layak dan tunjangan yang adil-proporsional, seperti program kesehatan melalui BPJS Kesehatan atau asuransi Kesehatan swasta, pengadaan klinik di perusahaan, ‘regular medical check up’, ‘loan policy’, program umroh, family gathering, yearly event for appreciation, senam sehat rutin, dan lain-lain sebagainya.
Sementara itu, budaya perusahaan yang sehat dapat dibangun dengan mempromosikan praktik kerja yang sehat, memberikan akses ke sumber daya yang mendukung kesejahteraan karyawan, dan memberikan penghargaan dan pengakuan atas kontribusi karyawan yang berprestasi.
Program kesejahteraan karyawan adalah investasi jangka panjang bagi perusahaan, karena dapat meningkatkan kinerja karyawan, motivasi dan produktivitas serta mempertahankan karyawan yang berkinerja baik. Dengan memberikan akses ke sumber daya dan fasilitas yang mendukung kesejahteraan karyawan, perusahaan dapat membantu karyawan merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka, serta memotivasi mereka untuk terus meningkatkan kinerja mereka.
Peningkatan Kompetensi Karyawan
Kompetensi menjadi hal paling penting untuk meningkatkan kinerja, motivasi dan produktivitas karyawan. Tanpa memiliki kompetensi yang cukup sesuai tuntutan kebutuhan tugas dan pekerjaan, maka pelaksanaan tugas untuk meraih target yang telah ditetapkan akan mustahil bisa terwujud. Adagium klasik ketenagakerjaan “The right man in the right place” adalah bentuk dari penempatan kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas dan pekerjaan.
Pakar Manajemen Stephen Robin mengatakan, kompetensi adalah suatu keahlian atau kapasitas setiap orang untuk mengerjakan tugas-tugas dalam suatu pekerjaan, yang mana kemampuan tersebut didasarkan pada factor pisik dan intelektual.
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan seseorang mengenal wawasan, ketrampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar atau aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Perusahaan harus menyusun program-program yang bisa meningkatkan kompetensi karyawan. Misalnya membuat program pelatihan yang berdasarkan atas Analisa kebutuhan pelatihan atau ‘training need analysis’, agar tujuan pelatihan untuk meminimalisir ‘gap’ yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan pekerjaan.
Selain itu, penambahan tugas dan tanggungjawab kerja kepada karyawan yang berkinerja baik, akan memberikan rasa percaya diri bagi karyawan tersebut untuk memberikan kontribusi terbaik kepada perusahaan.
Penciptaan lingkungan kerja yang kondusif, dimana tercipta keterbukaan, saling menghormati dan menghargai antara sesama karyawan serta komunikasi yang efektif, akan memberikan rasa keterikatan atau “engagement” karyawan terhadap perusahaan. Peran atasan dalam penciptaan lingkungan kondusif sangat penting, karena atasan memiliki pengaruh yang bisa diikuti oleh seluruh karyawan. Dengan terwujudnya lingkungan kerja yang kondusif, secara otomatis ayang membentuk Kerjasama tim atau ‘teamwork’ yang solid.
Kesimpulan
Tantangan utama dalam meningkatkan implementasi sistem dan mekanisme hubungan industrial di era digital adalah, bagaimana kedua belah pihak yang menjadi pemeran utama di perusahaan, yakni Pengusaha & Pekerja bisa saling memahami, menyadari dan berkomitmen untuk menciptakan aura kesetaraan dalam proses dan mekanisme hubungan industrial, memberikan kompensasi dan kesejahteraan yang layak dan manusiawi agar terwujud ketenangan bekerja serta menyusun sistem yang terukur dan jelas dalam meningkatkan kompetensi karyawan.
Model implementasi Kesetaraan, Kesejahteraan & Kompensasi (3K) di perusahaan, jika dilaksanakan dengan komitmen tinggi oleh bipartit di perusahaan, insya Allah akan makin meningkatkan kualitas implementasi sistem dan mekanisme hubungan industrial Indonesia yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana dicita-citakan bersama. Semoga. Bekasi#19052023.