KARAWANG | INFOKEADILAN.COM | Managemen Rumah Sakit Khusus Paru (RSKP) milik Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang diduga membayarkan Tunjangan Hari Raya ( THR) Idul Fitri 2023 tak sesuai dengan aturan.
Padahal terkait dengan THR sudah diatur jelas pada Permenaker No. 6 tahun 2016 dan setiap tahun Menaker selalu mengeluarkan Surat Edaran (SE) untuk selalu mengingatkan pentingnya pembayaran THR bagi karyawan. Untuk tahun 2023, Menaker telah mengeluarkan SE No.M/2/HK.04.00/III/2023 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2023.
Kepada awak media, sejumlah pegawai mengaku sakit hati karena menerima uang THR yang bahkan tidak menyentuh setengah dari upah satu bulan. Pemberian hak itu pun terbayar H-4 lebaran. Padahal pemerintah sudah mewanti-wanti agar THR harus sudah dibayarkan paling telat H-7 IdulFitri.
“Sebenarnya karyawannya baik-baik banget. Ini remun ga ada aja kita legowo banget. Eh ini THR kebangetan banget minimal setengah dari gaji pokok kek,” kata pegawai RSKP Jatisari yang meminta identitasnya untuk dirahasiakan.
Dari informasi yang ditelusur, jumlah THR yang dibayarkan kepada para karyawan Rp 1 juta rupiah. Dan THR kepada dokter spesialis hanya Rp 2 juta. Pembagian ini berdasarkan skenario keuangan yang telah dihitung oleh pihak manajemen RSKP dengan syarat, penerima THR harus sudah bekerja di RSKP minimal 1 tahun. Bahkan pegawai yang berstatus ASN tidak mendapat THR sepeserpun dari RSKP.
Selain itu, sebagaimana dilansir dari Karawangbekasi.jabarekspres.com, Direksi RSKP pun diduga telah abai atas sejumlah hak para pegawainya. Dari mulai hak remunerasi yang dalam beberapa bulan belum dibayar. Buruknya pengelolaan keuangan RSKP ini, bahkan hingga soal pembelian ATK yang terkadang pegawai sendiri yang membeli ATK dengan uang saku pribadi untuk menunjang pekerjaan dan pelayanan rumah sakit.
“Bilangnya nanti dirembes. Tapi gak tahu kapan. Kita bekerja seperti tidak dihargai. Malu harusnya, akreditasi sudah paripurna tapi sekarang kelihatan banget bobroknya,” ungkapnya salah seorang sumber yang tidak mau disebutkan namanya.
” soal ATK, sudah seperti nunggu dana BOS turun di sekolah. Padahal tidak bisa stok kertas kosong karena setiap hari kertas dan amplop digunakan kepada pasien,” kata dia.
Selain itu, narasumber bercerita bahwa para pegawai yang mendapat penambahan jumlah jam kerja atau lembur tanpa ada perhitungan jelas mengenai pembayaran upah tambahan atau lembur kepada para pegawai.
“Bilangnya RS gak ada uang. Padahal aku tahu setiap hari pasien MCU itu selalu banyak, 300-500 orangan itu pasti ada. Belum lagi setelah Covid-19, RSKP juga kan menerima pasien umum,” kata dia yang bingung menerima penjelasan manajemen jika rumah sakit sedang tidak ada uang.
Ia pun berharap, naiknya permasalahan RSKP yang semula selalu ditutupi ini, dapat menjadi perhatian bagi kepala daerah maupun pejabat pemerintahan lainnya agar ada tindakan evaluasi perbaikan layanan dan kenyamanan pekerja, terlebih karena pemerintah daerah berniat mengubah RSKP menjadi sakit umum daerah.
“Aku pengin pemda kasih peringatan ke rumah sakit agar ada perbaikan. Auditnya dibenerin lagi. Apalagi yang aku tahu di manajemen rumah sakit banyak yang ngisi jabatan tidak sesuai dengan profesinya,” tukasnya.
Pegawai RSKP lainnya membenarkan kasus THR yang diberikan tidak sepenuhnya. Malahan, ia mengatakan bahwa Tunjang Hari Raya tahun ini jauh di bawah lima puluh persen dari yang seharusnya.
“Pemberian THR enggak sampai 50 persen,” katanya singkat.
Soal remunisasi, ia mengatakan dirinya tidak mendapatkan pada bulan Januari. Pada bulan berikutnya baru mendapatkan remunerasi. Serta remunisasi bulan April ini bakal direkap pada Juni mendatang.
“Kewajiban, soalnya remunerasi dari pendapatan. Harusnya pendapatan ada, langsung diberikan. Gak dapat remunerasi tuh pas bulan Januari gitu. Dapatnya di bulan Februari. Bulan Maret engga (dapat, red) bulan April dapat. Jadi sekarang mah katanya tuh jadi dua bulan sekali. Bulan Mei ini enggak dapet katanya mah dan dapet di bulan depannya lagi (bulan Juni, red). Enggak berurutan,” ungkapnya lagi.
Terkait alat tulis kantor (ATK), ia mengatakan pada tahun lalu tidak ada kendala dalam pembelian ATK di RSKP.
“Semisal ATK, tahun kemarin lancar-lancar aja. Sekarang di tahun ini ATK agak dibates. Soalnya, katanya sulit buat beli ATK-nya. Kalau mau beli ini itu pun pihak di bagian keuangannya agak menekan karena banyak pengeluaran yang lebih dibutuhkan,” ucapnya.
Akibatnya ATK yang seharusnya diperuntukkan keperluan administrasi RSKP pun akhirnya sempat tertahan. Masalah tersebut baru teratasi ketika permasalahan itu sampai di telinga Dirut RSKP.
Awak media pun sempat berupaya mengonfirmasi sejumlah masalah keuangan yang berdampak terhadap hak para pegawai kepada Direktur RSKP, dr Annisah M.Epid., namun ia mengaku tidak mau berkomentar apa pun terlebih dahulu untuk saat in.
“Mohon maaf untuk saat ini aku tidak mau berkomentar apapun,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Pustaka, Dian Suryana mengatakan, keluh kesah pegawai di RSKP harus disikapi serius oleh bupati dan DPRD Karawang. Apalagi menyangkut persoalan pengelolaan manajemen keuangan dan sumber daya manusia. Khawatir jika dibiarkan berlarut dan dianggap ‘remeh’ akan jadi bom waktu hingga akhirnya mengganggu pelayanan kesehatan.
” Panggil manajemen, Direksinya. Hati-hati jangan sampai dianggap remeh, khawatir tidak jadi atensi tahu-tahu mogok kerja dalam pelayanan bisa menjadi perseden buruk. Banyak contohnya,” ujarnya.
Ditambahkan, terlebih RSKP akan menjadi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) tipe C. Diharapkan keluhan para pegawai RSKP harus dijadikan ‘diagnosa’ awal oleh bupati dan DPRD untuk mengevaluasi manajemen dan direksinya. Jangan sampai fokus kepada persiapan secara teknis untuk memenuhi persyaratan RSUD tipe C, sementara manajemen secara umum ada yang masih perlu dibenahi.
“Benahi manajemen dan direksinya. Jangan sampai ada yang mogok kerja gara-gara haknya. Jika tidak ada pembenahan, ganti direksinya. Ini bukan hanya soal pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, tapi legacy bupati di akhir kepemimpinan,”tegasnya.
(Red)