KARAWANG |infokeadilan.com – Program Irigasi Perpompaan Besar (IRPOM) di Kabupaten Karawang yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akhir tahun 2024 kini menuai sorotan. Pasalnya, program yang dikerjakan secara swakelola oleh masyarakat melalui Kelompok Tani (Poktan) ini diduga bermasalah dan terindikasi adanya praktik korupsi.
Diketahui, anggaran IRPOM dari Kementerian Pertanian sebesar Rp 112,8 juta. Untuk wilayah Kecamatan Tirtajaya, program ini disalurkan ke enam desa, yakni Poktan Desa Bolang, Poktan Desa Srijaya, Poktan Desa Tambaksumur, Poktan Desa Sabajaya, Poktan Desa Tambaksari, dan Poktan Desa Medankarya. Dana tersebut diperuntukkan bagi pembangunan sarana perpompaan guna mendukung pengelolaan air irigasi pertanian.
Namun kenyataannya, meski Kecamatan Tirtajaya menerima program tersebut, masih banyak sawah di wilayah itu yang mengalami kekurangan air hingga menyebabkan gagal panen.
Sekretaris Gibas Cinta Damai Sektor Tirtajaya, Karsono, turut menyoroti persoalan ini. Ia menduga terdapat indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan program IRPOM.
“Sejumlah bukti pekerjaan fisik, seperti bangunan dengan rata-rata ukuran 2 x 2,5 meter dan satu unit pompa beserta kelengkapan pendukungnya, seharusnya bisa dihitung secara jelas total pengeluarannya. Namun nilainya justru membengkak hingga sebesar itu,” ujarnya, Selasa (30/9/2025).
Lebih lanjut, Karsono mengungkapkan adanya laporan dan temuan di lapangan yang mengarah pada dugaan penyelewengan anggaran.
Di antaranya ketidaksesuaian jumlah pengadaan program irigasi perpompaan, keterlambatan realisasi pekerjaan (dana tahap dua dari Kementan ditransfer Desember 2024, namun pengerjaan baru dimulai Mei 2025), hingga hilangnya mesin diesel pompa yang tidak dilaporkan ke kepolisian.
Selain itu, ada pula alasan klasik dari Poktan terkait keterlambatan pengoperasian pompa, seperti tidak tersedianya BBM (solar). Bahkan, Karsono menyebut terdapat satu Poktan yang menerima hingga tiga program IRPOM sekaligus.
“Dugaan penyelewengan ini jelas-jelas merugikan masyarakat. Kami menduga ada keterlibatan oknum di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam mengakomodir praktik tersebut,” tegasnya.
Karsono menilai, program IRPOM yang seharusnya menjadi solusi bagi para petani justru menjadi beban akibat pelaksanaan yang tidak transparan dan penuh dugaan penyimpangan.
“Jika melihat bangunan kecil dan satu unit pompa diesel, sangat mudah untuk menaksir biayanya. Namun ketika satu kecamatan mendapatkan enam program IRPOM dengan kondisi seperti ini, jelas patut dicurigai adanya praktik korupsi,” pungkasnya.
•Red